Konsorsium Permampu yang terdiri dari 8 LSM Perempuan di Pulau Sumatera pada hari ini merayakan International Women Day (IWD) secara virtual, yang dihadiri oleh 143 peserta (132 perempuan dan 11 laki-laki) mewakili Aktivis Perempuan, FKPAR Sumatera, Forum Perempuan Muda, Forum Multistakeholder, dan jurnalis. Dalam perayaan tersebut Dina Lumbantobing sebagai Koordinator PERMAMPU membuka acara dengan mengingatkan kembali sejarah yang telah dimulai sejak tahun 1911. Tetapi meski banyak kemajuan yang dinikmati perempuan; namun perempuan tetap menghadapi berbagai bentuk diskriminasi antara lain kekerasan seksual, perkawinan anak, kriminalisasi perempuan karena mengakhiri kehamilan, dan yang paling akhir adalah pengaturan pakaian perempuan di lembaga pendidikan. Di saat pandemi Covid-19, kekerasan seksual maupun bentuk kekerasan lainnya berbasis online juga semakin marak terjadi, sementara ketegangan dalam rumah tangga yang menimbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga banyak dialami perempuan.
Data di WCC Sinceritas-PESADA di akhir 2020 tetap menunjukkan pola kekerasan terhadap perempuan yang sama, dimana KDRT tetap tertinggi yaitu 68 kasus ( 49.6%), sementara di arena publik sebanyak 44 kasus (32 %), dan 25 kasus Kekerasan Terhadap Anak Perempuan/KTAP (18%). Catatan Tahunan 2020, Cahaya Perempuan WCC dan Media Lokal menunjukkan kasus Kekerasan Seksual merupakan kasus tertinggi, yaitu 181 kasus (66 %) Kekerasan Terhadap Anak Perempuan/KTAP 3 kasus (1%) dan kasus KDRT (Kekerasan terhadap Isteri) 90 kasus (32.85%). Sementara di WCC Palembang sepanjang tahun 2020, Divisi Pendampingan WCC Palembang telah melakukan pendampingan sebanyak 113 kasus, yang terdiri dari: Kekerasan Seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan seksual lainnya 46 kasus (40,71%), KDRT 41 kasus (36,28%), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 15 kasus (13,27%); dan beragam bentuk kekerasan lainnya 11 kasus (9,74%). Di Lampung Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR memonitor 147 kasus Ktp/a, kasus tertinggi adalah kekerasan seksual dengan jumlah 92 kasus, KDRT 42 kasus, trafficking 12 kasus.
Dengan data-data tersebut di atas, diskusi kritis kemudian diawali oleh anggota PERMAMPU dari Sumatera Barat yaitu Ramadhaniati (Direktur LP2M) dan Ketua Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Sumatera Barat, Marsusi Luthfi. Diskusi ini menegaskan dukungan Perempuan Sumatera kepada SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah yang dinilai semakin menegaskan perlindungan Negara atas hak warga dalam kebebasan beragama & berkeyakinan, melindungi otonomi perempuan atas tubuhnya dan penghormatan terhadap keberagaman.
Sementara pembicara kedua yaitu Ernawati (Koordinator Program-Flower Aceh) dan Rika Yusrina (Forum Perempuan Muda Aceh) mengkritisi kecenderungan promosi dan praktik perkawinan anak dengan menunjukkan kasus dari hasil penelitian terhadap 36 perempuan yang menjalankan pernikahan pada usia anak di Banda Aceh, Pidie dan Aceh Utara. Perkawinan anak di Aceh disebabkan oleh kemiskinan dan masih kuatnya mitos-mitos yang salah tentang seksualitas & reproduksi perempuan sepertinya perawan tua, khawatir anak melakukan zinah, dll. Posisi anak perempuan dalam perkawinan anak sangatlah rentan mengalami kekerasan, kemiskinan, dan penderitaan. Rika Yusrina dari Forum Perempuan Muda Aceh, menyatakan “sangat tidak setuju” terjadi perkawinan anak. Ia menyebutkan kampanye yang membolehkan perwakinan anak adalah melanggar UU No 7 tahun 1984 tentang Hak Azasi Perempuan dan UU No 16 tahun 2019 perubahan pasal 7 UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang mewajibkan usia perkawinan minimal 19 tahun.
Di bagian akhir diskusi, 9 orang perwakilan dari lembaga anggota Konsorsium dan perempuan akar rumput menyampaikan perasaan mereka selama 1 tahun pandemic Covid-19. Yuniati (FKPAR Riau) menceritakan Koperasi yang mereka berkurang penjualan, modal menurun dan biaya bahan baku semakin mahal. Situasi pandemi menjadi kesempatan karena tumbuh semangat kewirausahaan terutama jualan online menggunakan media sosial. Yenti Limbong (FKPAR Dairi) bercerita usaha salon yang tidak berjalan di masa pandemic Covid-19 karena kegiatan tidak ada pesta dan orang tidak berani keluar rumah. Untuk mengatasi kesulitan keuangan, ia mulai bertani tanaman muda dan dapat menikmati panen. Rita Fransiska (FPM Bengkulu) bercerita tentang usaha yang ditekuninya mengalami penurunan penjualan karena konsumen yang biasa berbelanja lebih memilih membeli voucher internet untuk belajar online. Yesi Ariani (WCC Palembang) bercerita bagaimana perempuan mengalami beban berganda, stress, dan rentan mengalami KTP. Tetapi ia yakin bahwa perempuan memiliki peran untuk melindungi keluarga dari penularan Covid-19. Susilawati (FKPAR Sumatera Selatan) merasakan stress dan ketegangan karena beban kerja yang bertambah, tetapi juga kesempatan belajar menggunakan HP Andorid dan memanfaatkan media sosial untuk berjualan online untuk menambah pendapatan. Zilnovita (FKPAR Tanah Datar) menyebutkan bahwa usaha perempuan mikro tidak berjalan seperti usaha tenun, jualan jajan anak-anak sekolah, dan lain-lain. Tetapi ia dan temannya beruntung karena masih bisa menjual masker dan berjualan online. Afrintina (Perempuan DAMAR, Lampung) menceritakan 3 kasus kekerasan terhadap perempuan anak disabilitas yang sempat di SP3 oleh Kepolisian karena tidak ada kemampuan untuk menangani korban disabilitas. Rasyidah (FKPAR ACEH) banyak perempuan tidak dapat berjualan sehingga berkurang pendapatannya dan perempuan kesulitan mengakses layanan di Puskesmas.
Gambaran cerita di atas menunjukkan bagaimana perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis gender, feminisasi kemiskinan dan diskriminasi selama pandemic Covid-19. Tetapi juga sekalihus menunjukan resiliensi perempuan dalam menghadapi masa-masa sulit pandemic Covid-19.
Perayaan IWD diakhiri dengan komitmen bersama seluruh peserta untuk:
- Lebih peka terhadap seluruh bentuk pelanggaran HAM, Hak Azasi Perempuan (HAP), dan hak anak perempuan dan saling membantu mengatasi kesulitan pada masa pandemic Covid-19.
- Bersatu mengkampanyekan otonomi perempuan atas tubuhnya dan melawan segala bentuk kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak sebagaimana diamanahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No.7 Tahun 1984) dan UU No 16 tahun 2019 perubahan pasal 7 UU Perkawinan No 1 tahun 1974.
- Mendorong Pemerintah Daerah dan Lembaga Pendidikan agar konsisten melaksanakan SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut untuk mewujudkan pendidikan yang adil terhadap perempuan, memperkuat nilai toleransi dan kebhinekaan Indonesia.
- Negara harus memberi perlindungan kepada aktivis perempuan yang juga rentan mengalami kriminalisasi karena memperjuangkan hak-hak perempuan.
Be the first to write a comment.