Lampung Tengah, 12 Juli 2025 – Masyarakat dari Desa Persiapan SP1 (Karya Makmur), SP2 (Terusan Makmur), dan SP3 (Tri Tunggal Jaya) di Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten Lampung Tengah, hingga hari ini belum juga memperoleh status sebagai desa definitif. Padahal, ketiga desa ini telah dihuni oleh masyarakat sejak tahun 1997 dan telah memiliki struktur sosial dan infrastruktur dasar yang berjalan secara mandiri.
Namun, upaya pendefinitifan desa-desa tersebut diduga kuat mendapat hambatan serius dari pihak-pihak tertentu, terutama dari PT. Sugar Group Companies (SGC) yang disinyalir merasa terancam kehilangan tanah plasma yang saat ini digunakan untuk kerja sama dengan masyarakat. Tanah tersebut sejatinya merupakan tanah negara yang seharusnya dialokasikan secara sah kepada masyarakat apabila status desa sudah definitif.
Dugaan Intimidasi dan Manipulasi Kontrak oleh PT. SGC
Tata Dinata, mantan Lurah Desa SP1 (Karya Makmur), mengungkapkan bahwa masyarakat telah tinggal dan menggarap lahan di wilayah tersebut sejak 1997. Pada tahun 2010, lahan tersebut dijadikan tanah kerja sama dengan PT. SGC dalam sistem kemitraan penanaman tebu.
“Selama masa kontrak kami dirugikan, lalu saat masa kontrak habis tahun 2022, kami justru diintimidasi dan dipaksa menandatangani kontrak baru selama 20 tahun ke depan sampai 2042. Di perjanjian lama ada pasal bahwa setelah 4 kali panen, perjanjian bisa ditinjau ulang bahkan dibatalkan. Tapi di perjanjian baru itu dihapus. Ini jelas kejahatan yang terstruktur dan sistemik,” ungkap Tata.
Kebutuhan Mendesak dan Kekecewaan Masyarakat
Permasalahan administratif juga menjadi beban berat bagi warga. Purwadi, Carik Desa SP2 (Terusan Makmur), menyatakan bahwa jarak yang jauh ke desa induk, Mataram Udik – sekitar 70 kilometer – sangat menyulitkan warga.
“Bayangkan, kami harus menempuh puluhan kilometer hanya untuk urus KTP, KK, akta nikah. Sejak 1997, sudah banyak calon anggota dewan dan bupati yang menjanjikan desa kami akan definitif. Tapi semua hanya janji politik yang tidak pernah ditepati. Kami sudah bosan, kami sudah tidak percaya lagi,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal kantor desa yang sudah ada sejak 1997 namun tidak pernah digunakan.
“Kami tidak merawat kantor desa karena memang tidak difungsikan. Lebih baik kami bangun sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah dengan swadaya masyarakat. Kami bahkan tidak menerima Dana Desa karena belum berstatus definitif,” tambahnya dengan nada kecewa.
BEM Universitas Malahayati Siap Turun Aksi
Merespons situasi yang terjadi, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Malahayati (BEM UNMAL) menyatakan dukungan penuh terhadap perjuangan masyarakat SP1, SP2, dan SP3.
Presiden Mahasiswa Universitas Malahayati, Muhammad Kamal, mengecam keras dugaan intimidasi dari PT. SGC terhadap masyarakat desa.
“Kalau memang sudah begini, tidak ada rumus lain selain kita tagih langsung janji Bupati Lampung Tengah. Jangan-jangan Bupati ini takut membantu karena ada tekanan dari oligarki besar bernama Sugar Group Company?” ujar Kamal.
Ia juga menyerukan aksi terbuka untuk menuntut keadilan.
“Kami mengajak masyarakat SP1, SP2, dan SP3 untuk turun aksi. Saya juga akan mengajak teman-teman dari berbagai kampus di Bandar Lampung untuk turut serta, sebagai bentuk solidaritas dan refleksi peran mahasiswa di tengah masyarakat. Sudah saatnya kita bersatu dan menagih keadilan. Negara tidak boleh kalah oleh korporasi,” tegasnya.
Rilis ini diterbitkan oleh BEM Universitas Malahayati sebagai bentuk komitmen untuk berdiri bersama masyarakat tertindas, menolak segala bentuk intimidasi, dan memperjuangkan hak atas pengakuan administratif dan tanah yang layak bagi masyarakat Desa SP1, SP2, dan SP3.
Be the first to write a comment.