Oleh: Muhammad Walidin, M.Hum. Kaprodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Raden Fatah Palembang

Baru saja kita memperingati hari ibu sedunia pada tanggal 21 Maret, tiba-tiba kita dikejutkan dengan kabar kepulangan seorang ibu hebat dari Mesir. Ia merupakan ibu dari dua orang anak. Lebih dari itu, ia adalah seorang ibu yang dikenal secara utuh mendedikasikan dirinya untuk menyuarakan suara perempuan yang terbungkam dalam tradisi bias gender di dunia Arab, khususnya Mesir. Berkat keberaniannya, kehidupan gelap kesehatan dan pendidikan wanita Arab mulai dilirik khalayak ramai sebagai isu publik. Ia membuka wawasan tentang hak perempuan dalam kesetaraan, baik secara kesehatan maupun pendidikan.

Dialah Nawal al-Sa’dawy, yang meninggal pada hari Minggu, 21 Maret 2021 di Kairo Mesir. Dunia tentu saja menangis ditinggalkan sosok wanita kuat berusia 89 tahun ini. Akan tetapi, saya yakin dunia ikhlas mengiringi kepergian Nawal sembari memberikan penghormatan tertinggi atas jasa-jasanya dan doa yang dilantunkan dari dalam sanubari.

Nawal adalah ikon feminis Arab. Bahkan ia diberi julukan Simione de Beauvoir Arab. Dokter, Psikiater, aktivis, dan penulis ini sejak mula merasa terjadi ketidakadilan terhadap perempuan, khususnya di bidang pendidikan. Dengan minimnya kesempatan di bidang ini, maka perempuan tumbuh tanpa pengetahuan yang memadai untuk sekedar mengetahui hak dan kewajiban mereka. Akhirnya para perempuan ini harus tunduk kepada sistem patriarkhal yang bahkan sangat merugikan mereka.

Sebagai dokter, Nawal dibekali pengetahuan anatomi tubuh. Tubuh, terutama para perempuan seringkali dimaknai sebagai properti oleh tradisi patriarkhi. Perempuan tidaklah berkuasa atas tubuhnya sendiri. Mereka harus tunduk dengan sistem yang dibuat oleh tradisi. Mereka harus mau dikawinkan walau tubuh mereka belum siap melaksanakan fungsi reproduksi. Mereka harus siap bila bagian alat reproduksinya dimutilasi. Bahkan mereka harus rela mati demi untuk memuaskan hasrat patriakhi dalam mengontrol tubuh perempuan. Nir-kuasa atas tubuh perempuan oleh perempuan adalah titik perjuangan Nawal kelak di kemudian hari.

Hasrat Nawl membela kaum perempuan seakan tak pernah surut. Profesinya sebagai dokter dan akademisi memberikannya peluang untuk melakukan perlawanan secara ilmiah. Pada tahun 1969, ia melakukan penelitian terhadap praktek penyunatan perempuan di Sudan yang dilakukan secara tradisional dan menyakitkan. Di Mesir sendiri, penyunatan itu dilakukan dengan cara memotong sebagian dari klitoris, tetapi di Sudan pemotongan tersebutl dilakukan pada klitoris, dua bibir luar (labia mayora) dan terhadap dua bibir dalam (labia minora).

Akibat dari penyunatan yang tidak mengenal medis itu, banyak di antara para perempuan yang terkena infeksi selama hidupnya. Bahkan, di antara mereka tidak sedikit yang kehilangan nyawa sebagai akibat dari cara-cara primitif dan tidak manusiawi dalam mengoperasi.

Lebih lanjut, Nawal juga meniliti tentang wanita dan neorosis (1973-1976) dengan 20 studi kasus wanita di penjara dan di rumah sakit. Kemudian, Nawal juga melakukan penelitian tentang aborsi. Ia menemukan bahwa wanita dari keluarga kaya tiga kali lebih banyak melakukan aborsi dari wanita dari kalangan miskin. Bahkan, aborsi dari wanita yang telah menikah mencapai 90 % dari total kasus. Menurutnya, kasus-kasus di atas bersumber dari persoalan konsep kepemimpinan keluarga yang diserahkan kepada kaum laki-laki secara mutlak sehingga melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

“Perempuan tidak bisa bebas dalam masyarakat kelas atau masyarakat patriarki yang didominiasi laki-laki. Itu sebabnya kita harus menghapuskannya, melawan penindasan kelas, penindasan gender, dan penindasan keagamaan,” kata El Saadawi ketika diwawancari CNN pada tahun 2011 lalu.

Nawal sadar bahwa jurnal-jurnal ilmiah tentang kesehatan perempuan hanya bisa dijangkau oleh para akademisi dan pelajar. Sementara, di luar sana begitu banyak perempuan yang tidak bisa mengakses jurnal tersebut. Ia berfikir bagaimana agar isu-isu tentang hak-hak wanita bisa diakses oleh berbagai kalangan, terutama wanita dari kalangan bawah.

Ia menemukan cara yang cerdas. Ia melihat media karya sastra adalah cara yang murah dan mudah untuk menjangkau berbagai kalangan. Hasil kegelisahan dan penelitiannya ditransformasi ke dalam karya sastra bergenre prosa/novel.

Kegelisahannya tentang kesempatan yang minim bagi perempuan untuk mengakses pendidikan dan kuasa atas tubuh juga dituangkan dalam novel Memoar Seorang Dokter Perempuan (1958). Penelitiannya tentang wanita dan neorosis di penjara wanita Qanatir menjadi inspirasi bagi novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol (1975). Dan akhirnya, Nawal merasakan sendiri menjadi tahanan di penjara wanita Qanatir pada tahun 1981. Di sini ia menggubah penelitiannya tentang proses penyunatan perempuan yang membahayakan itu ke dalam novel berjudul Memoar dari Penjara Perempuan (1983). Novel ini jelas merupakan penentangan Nawal terhadap praktik penyunatan perempuan (female genital mutilation).

Ada banyak lagi karya Nawal yang berkaitan dengan isu-isu perempuan yang menjadi suar bagi suara-suara terbungkam. Terbukti, karyanya telah diterjamahkan dalam banyak bahasa di dunia serta menjadi kajian berbagai disipilin ilmu. Keprihatinan Nawal tentang nasib perempuan yang dituangkan dalam karya sastranya menjadi lonceng di seluruh dunia agar waspada dengan adanya ketidakadilan pada wanita.

Tidak berhenti pada karya fiksi, ia juga menggelorakan fikirannya pada karya non-fiksi. Sebuah buku berjudul Wanita dan Sex diterbitkan pada tahun 1972. Karya ini memancing amarah besar otoritas politik dan agama. Nawal diberhentikan dari instansi tempatnya bekerja, sekaligus dicopot dari posisinya sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat. Organisasi yang ia dirikan tahun 1982 bernama AWSA (Arab Women’s Solidarity Association) dilarang berkegiatan pada tahun 1991 oleh pemerintah Mesir, bahkan majalah ‘Nun’ yang menjadi corong para aktifis AWSA dibredel oleh penguasa Mesir.

Persekusi yang dihadapi Nawal sejak tahun 1980an, dari kekuatan agama militan dan politik membuatnya meninggalkan Mesir. Ia mencoba mengajar di berbagai universitas di Eropa dan Amerika, seperti Duke University, Universit of Washington, Harvard, Yale, Columbia, The Sorbonne, Georgetown, Florida State University, dan University of California, Berkeley. Puas melanglang buana, pada tahun 1996, ia kembali ke Mesir.

Nawal yang dilahirkan pada tahun 1931 di Desa Kafr Tahla Mesir akhirnya harus menghadap kembali sang penciptanya dari ranjang salah satu rumah sakit di Cairo setelah melawan beberapa penyakit. Kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak wanita akan terus dikenang sepanjang kajian sastra, feminisme, dan kesehatan masih terus bergulir.

Nawal menyusul ayah dan ibunya yang meninggalkannya saat ia masih remaja berusia 25 tahun. Saat di mana ia dan 8 bersaudaranya masih sangat membutuhkan dorongan dan kasih sayang orang tua. Beruntung ayah dan ibunya dulu sangat mendorong agar anak-anaknya bersekolah dan memiliki pendidikan tinggi.

Pilihan Nawal untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Cairo adalah anugerah bagi dunia feminisme Arab. Bangku kuliah yang biasanya dikuasai oleh para lelaki ini memberikan kesadaran penuh bagi seorang Nawal yang kelak akan menjadi pejuang hak asasi manusia. Ia memang berbakat. Ia meraih gelar sarjana psikiatri pada tahun 1955 dan dinyatakan sebagai lulusan terbaik dari ratusan mahasiswa. Kesukesannya tersebut sebanding dengan gelar terbarunya, sebagai salah satu daftar wanita tahun 2020 (Women of the Year) yang dinobatkan oleh majalah Time.

Selamat Jalan Nawalal-Sa’dawy. Karyamu abadi. Kontribusimu hakiki!