Bus kami yang bernama Ege Hakan dan dikemudikan oleh pria ganteng bernama Ufuk berhenti di pinggir jalan untuk menurunkan penumpang. Tujuan kami adalah sebuah restoran Indonesia ‘Ibu Deden’ di seputaran Sultan Ahmet. Restoran ini telah dipromosikan sejak kedatangan kami pertama kali oleh Samih (TL) sehingga benar-benar seperti obsesi setelah 10 hari menerima makan Turki yang terkesan datar.

Kami beriringan berjalan di atas trotoar. Terdapat jeda ruang karena proses turun dari bis yang bergantian. Samih telah tampak berjalan dahulu pada jalanan yang menanjak. Beberapa teman juga berada di belakang Samih. Saya dan istri berjalan berdampingan. Berberapa teman masih tertinggal beberapa meter di belakang kami. Semua nampak gontai karena jadwal makan siang yang agak terlambat.

Tiba-tiba, sebuah mobil kecil (sekelas Brio) mundur buru-buru dengan bagian belakangnya mengarah pada kami yang sedang berjalan di trotoar. Sontak, pergerakan mobil ini membuat seorang ibu berwajah Arab berbaju hitam di depan saya merasa ketakutan. Ia segera mundur sampai menyentuh tubuh saya. Di dalam kepanikannya, saya sedikit menghibur beliau, “Don’t worry, it will be fine, Madam.”

Anehnya, ibu tersebut justru buru-buru naik mobil yang mundur tadi. Sang ibu itu juga disusul oleh 4 orang gadis berbaju hitam yang juga buru-buru masuk dari satu pintu. Seorang gadis terakhir telat masuk, ia baru saja memasukkan separuh badan, kakinya masih terjuntai keluar dengan pintu masih terbuka, dan seketika drama terjadi!

Istri saya, secara instingtif mencium ketidakwajaran mobil itu. Segera ia mengingatkan, “Biasanya hal-hal seperti ini berkaitan dengan scam atau copet, periksa dompet!,” ujarnya cepat. Secara refleks, saya memegang dompet yang saya taruh di kantong celana belakang. Dan….wush….saya tidak merasakan keberadaan dompet tersebut. Jantung saya berdegub kencang dan fikiran saya menyuruh untuk melakukan sesuatu dengan cepat.

Menurut ibu Ima yang berada di belakang saya, saat itu saya seperti terbang menuju mobil yang ingin segera buru-buru pergi. Langkah saya begitu cepat. Fikiran saya langsung menuduh mereka sebagai komplotan yang telah mengambil dompet saya. Ya benar, tidak ada lagi tertuduh lain. Saat saya terbang melayang mengejar mobil tersebut dengan diiringi suara-suara heboh dari teman-teman, sebuah benda nampak melayang ke arah saya dan jatuh. Saya hanya melihat benda itu seperti plastik. Saya tidak menghiraukan lagi benda apa itu sebenarnya. Saya juga tidak menghiraukan lagi istri saya berteriak, “Sudahlah Yah…jangan dikejar! Dompetnya sudah mereka kembalikan.” Saya juga tidak mendengar suara teman-teman dan istri saya berteriak kencang, “copet……copet…” Teman-teman saya ini juga tidak sadar kalau mereka sedang berada di Turki. Seharusnya mereka berteriak dalam bahasa Turki “Yankesici…..Yankesici….! atau setidaknya dalam bahasa Inggris yang lebih mudah dipahami agar terlihat lebih keren dan berasa kalau mereka sedang di Eropa, “Pickpocket…..Pickpocket….!,

Yah…semuanya digerakkan oleh syaraf spontanitas. Peristiwa ini bahkan tidak bisa diabadikan oleh semua peserta tour yang biasanya selalu menggenggam HP. Sebagian berteriak histeris, sebagian terpaku menganga!

 

Adapun saya, yang saat itu berpenampilan perlente dengan jas yang baru saja dibeli di Istiklal street Taxim Square, benar-benar fokus mengejar copet itu. Gadis yang saya sebutkan di atas, yang baru saja memasukan separuh badannya ke mobil bernasib malang. Saya berhasil menangkap blazernya dan menariknya dengan kuat. Maksud saya ingin menjatuhkan sang gadis untuk menyandera kelompok ini agar menukarnya dengan dompet saya yang mereka curi. Namun, badan sang gadis juga telah ditahan secara kuat oleh 4 orang wanita dari dalam mobil. Terjadilah tarik-menarik tubuh sang gadis antara saya dengan para wanita dari dalam mobil. Sementara itu, sang sopir (diduga lelaki) terus menjalankan mobilnya untuk melarikan diri dalam keadaan pintu mobil masih terbuka. Tarik menarik tersebut berhasil menyeret saya hingga tujuh meter. Beruntung posisi saya cukup kuat sehingga tidak terjatuh. Perlahan pegangan saya ke blazer sang gadis saya regangkan karena miobil melaju semakin kencang. Akhirnya, saya menyaksikan mobil itu berlari kencang meninggalkan saya.

Fikiran saya mendadak kosong. Apakah saya kecewa dengan lepasnya buruan? Saya tidak merasakan apa-apa. Saya justru merasakan lega. Berusaha sudah, kalaupun mereka berhasil mencuri dompet saya, saya akan ikhlaskan karena saya tahu mereka ini adalah imigran yang kelaparan (mungkin dari Suriah, negara konflik yang berbatasan langsung dengan Turki di selatan).

Saya membalikkan badan saya sambil mengibaskan kedua tangan saya. Dalam gerakan slow motion, saya melangkah menuju tempat awal saya tadi berdiri. Jas baru saya tersingkap sedikit tertiup angin. Jari saya mengambil gagang kacamata dan melepaskannya dari wajah. Sekilas saya melirik ke bagian kiri terdapat rombongan bapak-bapak lokal yang tercengang tak bergerak menyaksikan pagelaran film Jackie Chan kw yang baru saja terjadi. Gerakan slow motion kembali ke gerakan normal. Istri saya menyambut saya bak pahlawan. Ia menyerahkan dompet saya yang ternyata telah dilempar oleh para pencuri. Benda yang melayang saat saya terbang mengejar pencuri itu ternyata adalah dompet, yang tadinya saya kira plastik. Beruntung dompet saya berikut uang rupiah dan lira di dalamnya tetap utuh. Drama copet Turki ini berakhir dengan Happy Ending.

Beberapa menit kemudian, ruang makan di restoran bu Deden menjadi riuh rendah. Peristiwa pencopetan tadi diulang dalam berbagai sudut pandang (Point of Views). Serunya cerita bercampur baur dengan dentingan sendok mencium piring, juga suara krenyesan kerupuk yang sudah lama tidak hadir di meja makan sepajang perjalanan kami di Turki. (kejadian tanggal 28 Maret 2022).
oleh: Muhammad Walidin Iskandar