Jakarta – Sinergitas antar kementerian wajib segera diwujudkan. Sehingga aktivitas pemerintah dalam melayani publik dapat terlaksana dengan baik dan nyata, terutama berkaitan dengan literasi untuk meningkatkan Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia.

Penekanan perlunya sinergitas ini disampaikan Komisi X DPR-RI pada Rapat Dengar Pendapat Gabungan dengan Kementerian Desa, Kementeraian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Perpustakaan Nasional, di Gedung DPR-RI, Selasa (2 Fabruari 2021).

“Selama ini hasilnya hanya bagus pada karya kata, bukan pada karya nyata. Jadi penekanannya sekarang bukan hanya sekedar bagus dalam kata-kata, juga harus bagus dalam karya nyata,” kata Dr Muhammad Kadafi, Anggota Komisi X DPRI-RI di Jakarta, Selasa (2 Februari 2021).

Menurut Kadafi, program Gerakan Literasi Desa sudah bagus dalam bentuk konsep dan narasinya. “Akan tetapi itu harus diwujudkan dalam aktifitas yang berkelanjutan. Seperti kebiasaan membaca yang masih rendah, maka titik tekannya adalah budaya,” kata Kadafi.

Lalu bagaimana literasi untuk meningkatkan budaya baca ini? Kadafi memberi contoh bagaimana Korea Selatan membangun budaya baca di negeri itu. Bahkan di tengah-tengah Ceox Mall, Seoul, Korea Selatan, ada perpusatakaan yang sangat besar. “Ini kegunaannya agar semua orang dapat melihat perpustakaan dan tertarik untuk membaca di sini,” katanya.

Pola yang bagus seperti itu, kata Kadafi, mestinya juga diterapkan di Indonesia kendati dengan cara yang tak harus sama. Ia mengatakan pada berbagai program pemerintahan dalam literasi maka perlu melibatkan masyarakat secara langsung.

“Misalnya, pada program kerjasama Mendes dengan perguruan tinggi. Program ini jangan cuma sebatas riset. Perlu pendistribusian mahasiswanya melalui program PKL/KKN dalam rangka membantu masyarakat desa membiasakan membaca,” katanya.

Kadafi menambahkan, perangkat desa seperti pendamping desa dan karang taruna harus juga perlu diberdayakan untuk membuat program harian yang berkaitan dengan literasi dengan memanfaatkan perpustakaan desa.

“Begitu juga dengan ketersediaan buku di desa, harus berorientasi pada kebutuhan. Misalnya, di daerah yang sumber pencariannya budi daya ikan, maka literasi tentang budi daya harus menjadi prioritas,” kata Kadafi.

Kadafi menambahkan bahwa buku di perpustakaan desa setidaknya juga berisi buku-buku tentang kebudayaan daerah lain. “Sebagai upaya bagaimana masyarakat desa lebih menyadari arti penting keberagaman Indonesia,” katanya.

Selain itu, Kadafi juga menekankan pentingnya literasi digital yang mengarahkan kepada upaya membendung hoax dan konten-konten negatif lainnya. “Masyarakat yang memiliki budaya literasi akan mampu menyaring berbagai informasi yang dihadapkan kepadanya,” katanya.

Kaitannya dengan literasi digital, kata Kadafi, disamping berkaitan dengan minat baca masyarakat, juga mempunyai tugas bagaimana masyarakat bisa menganalisis jutaan informasi di gawai. “Setidaknya Kemeninfo membuat satu platform ruang bertanya bagi masyarakat desa tentang informasi hoax,” katanya.

Bahkan, kata Kadafi, dinding layar digital juga pelu ada di desa-desa, sebagai counter tentang berita hoax yang menggunakan sarana internet. “Sehingga masyarakat desa tidak mudah terpengaruh pada informasi yang tidak jelas kebenarannya,” katanya.

Di era digital ini, kata Kadafi, semua orang adalah pimpinan redaksi atas akun media sosialnya masing-masing. “Keluasan akses berekspresi melalui status gambar dan tulisan diperlukan edukasi yang serius bagi masyakat desa tentang menggunakan media sosial secara arif.”[]