Bandar Lampung – (6/9/2021) Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor strategis yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian.

Selain menyumbang pendapatan negara, sektor ini juga memperkuat penyerapan tenaga kerja.
Mayoritas pekerja di sektor industri hasil tembakau (IHT) didominasi oleh perempuan, yang berusia muda hingga paruh baya.

Berdasarkan data BPS (2017), tercatat bahwa 86% dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau berasal dari kaum perempuan.
Mayoritas dari jumlah pekerja tersebut pun berpendidikan rendah.

Data World Bank pada tahun 2018 mencatat, persentase tingkat pendidikan pekerja perempuan di IHT untuk tamatan SD selalu di atas 30% di 2011-2015.

Kehadiran pabrik rokok, khususnya sigaret kretek tangan (SKT) telah menjadi pendukung nafkah bagi keluarga buruh rokok yang didominasi oleh perempuan, terutama di pada situasi pandemi covid-19 seperti saat ini di mana banyak suami mengalami PHK.

Selama pandemi, banyak tenaga kerja SKT yang merasa cemas dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat rencana kenaikan cukai rokok.

Bila tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau di 2022, diyakini, pabrik SKT tetap bisa bertahan di masa pandemi ini dengan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, juga membantu perekonomian dan masyarakat setempat di lingkungan penjualan SKT.

Ratusan ribu Ibu-ibu buruh pelinting menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, lebih dari itu, profil pekerja perempuan di sektor tembakau menjadi sangat kritikal karena apabila terjadi gelombang PHK maka akan sulit untuk menemukan sektor industri lain yang dapat menyerap profil ibu-ibu pelinting rokok dilihat dari sisi pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.

Lebih dari sekedar hitungan diatas meja, bukan hanya persoalan perempuan, ini adalah persoalan kemanusiaan.

Bambang elf- penggagas koalisi tembakau