Bulan Desember ini adalah bulan kembali mengenang sosok Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmah 1984-1999, sekaligus Presiden ke 5 Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah meninggalkan kita.

Sosok yang sangat dirindukan oleh semua lapisan kalangan masyarakat Nusantara ini, bahkan dunia internasional. Gus Dur telah wafat pada 30 Desember 2009 silam, dan telah dimakamkan di kompolek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Semua unsur di republik ini sangat kehilangan sosok Gus Dur.

Gus Dur adalah sosok yang sangat mengayomi sekaligus istimewa bagi keluarga, ia mempunyai tempat tersendiri bagi adik – adiknya.

Bagi Ali Yahya, penulis buku ini, sekaligus alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyampaikan, yang ditampilkan dalam buku ini lebih dominan pandangan adik – adik Gus Dur tentang sang kakak, putra sulung KH. Wahid Hasyim.

Buku yang diterbitkan ini Pustaka Tebuireng ini terdapat tiga (3) tema besar, yaitu; pertama, biografi singkat Gus Dur. Kedua, Biografi singkat adik – adik Gus Dur, dan ketiga, Gus Dur di mata adik – adik; Ny Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Ir. KH. Solahudin Wahid (Gus Solah), dr. Umar Wahid (Gus Umar), Hj. Lily Chodijah Wahid, dan Muhammad Hasyim (Gus Im).

Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940, sesungguhnya ia terlahir dengan nama Abdurrahman ad Dakhil. Pada akhir tahun 1944, dalam usia empat tahun Gus Dur dibawa ayahnya, KH. Wahid Hasyim ke Jakarta, yang mendapatkan mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan Agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang, halaman 2.

Diwaktu muda, Gus Dur sering dikirim oleh ayahnya ke tempat Williem Iskandar Bueller, seorang Jerman di Jakarta yang telah memeluk Islam. Biasanya Gus Dur datang kerumahnya selepas sekolah dan berada disana sepanjang sore. Ditempat inilah Gus Dur mulai menyenangi music klasik, utamanya karya – karya Beethoven. Sejak pertama mendengarnya lewat gramofon Bueller, hatinya langsung terpikat oleh musik itu.

Proses intelektual pendidikan Gus Dur dimulai sejak dari SD KRIS dan SD Perwari Jakarta. Kemudian melanjutkan di SMEP Tanah Abang Jakarta, kemudian pindah ke SMEP Gowongan, Yogyakarta. Di kota inilah ia tinggal dirumah teman ayahnya, Kiai Junaidi, seorang tokoh aktivis Muhammadiyah.

Selama dikota budaya, kota pendidikan ini, Gus Dur muda juga pergi ke Pesantren Al Munawwir, Krapayak belajar mengaji kepada KH. Ali Maksum, tiga kali dalam seminggu. Ia banyak menimba ilmu dari KH. Ali Maksum khususnya dalam bidang bahasa, halaman, 9.

Setamat SMEP Gowongan, Yogyakarta tahun 1957, Gus Dur mulai menimba ilmu di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Di Pesantren asuhan KH. Chudlori ini ia belajar banyak kitab kuning hingga khatam. Gus Dur ngaji di Pesantren Tegalrejo hingga tahun 1959.

Setelah dua tahun nyantri di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah Gus Dur muda diminta oleh KH. Fattah Hasyim, pamannya, untuk membantu mengurusi sekolah muallimat di Tambak Beras, Jombang sebagai sekretaris.

Di sekolah muallimat inilah ia bertemu dengan muridnya bernama Sinta Nuriyah yang sejak berusia 12 tahun. Gus Dur pun jatuh hati padanya. Gadis ini adalah putri KH. Abdus Syukur, teman akrab KH. Fattah Hasyim dan murid KH. Wahid Hasyim, halaman 12.

Putri ke 2 KH. Wahid Hasyim adalah Aisyah Hamid Baidlowi, lahir di Jombang, Jawa Timur, 6 Juni 1940. Sama seperti kakaknya, Gus Dur, Aisyah Hamid Baidlowi, mulai berproses pendidikan di SD KRIS Jakarta, kemudian di SMP 6 Jakarta, kemudian pindah di SMP 5 Pasar Baru, Jakarta, selanjutnya di SMA API Menteng, Jakarta.

Menginjak remaja, Aisyah terus terlibat secara aktif kegiatan – kegiatan sosial, tidak lain itu semua adalah proses kasih sayang, didikan, keteladanan ibunya, Hj. Sholihah, yang dikenal sebagai aktivis perempuan NU.

Khidmah Hj. Aisyah Hamid Baidlowi pada jamiyyah Nahdlatul Ulama ia mulai sejak menjadi kader Fatayat NU Cabang Matraman Jakarta, Fatayat NU di DKI Jakarta tahun 1959-1962, dan PP Fatayat NU.

Selanjutnya ia berkhidmah di Muslimat NU, pernah menjabat Sekretaris II PP Muslimat NU, Ketua III PP Muslimat NU, Ketua II PP Muslimat NU, dan Ketua Umum PP Muslimat NU hasil Kongres Muslimat NU ke -13 di Jakarta pada tahun 1995, halaman 39.

Ny. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi juga pernah menjadi anggota DPR RI periode 1997-1999, 1999-2004, dan 2004-2009 dari Fraksi Partai Golongan Karya.

Putra ketiga KH. Wahid Hasyim adalah Salahudin Wahid (Gus Solah), lahir di Jombang, Jawa Timur pada 11 September 1942. Nama aslinya adalah Salahudin al Ayyubi. Sama seperti kakak – kakaknya yang lain ia mulai berproses pendidikan di Jakarta, SD KRIS selanjutnya pindah di SD Perwari, Salemba, Jakarta. Selanjutnya di SMPN 1 Cikini, Jakarta, selanjutnya ke jenjang SMA Budi Utomo. Setelah tamat SMA Gus Solah melanjutkan ke perguruan tinggi, tepat di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan teknik arsitektur.

Selama kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan teknik arsitektur aktif dalam gerakan mahasiswa, sebagai senat mahasiswa dan dewan mahasiswa, juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), halaman 60.

Putra keempat KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholihah adalah Umar Wahid atau Umar al Faruq. Ia lahir di Jombang pada 6 April 1945. Sama seperti kakaknya, Gus Solah, ia mulai berproses pendidikan di Jakarta, SD KRIS selanjutnya pindah di SD Perwari, Salemba, Jakarta. Selanjutnya di SMPN IX Jakarta, melanjutkan di SMA 1 Jakarta. Selanjutnya ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ia juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Setelah menyelesaikan pendidikan dokter umumnya pada tahun 1970 ia menjalani pendidikan dokter spesalis paru di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Persahabatan Jakarta, halaman 82.

Gus Umar Wahid juga akif di Ikatan Dokter Indonesia (ID), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosa Indonesia, dan lain-lain.

Putri kelima KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholihah adalah Chodijah lahir pada 4 Maret 1948, lebih dikenal dimasyarakat Lily Chodijah Wahid. Selama remaja ia aktif di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), selanjutnya ia juga aktif di Koperasi Muslimat NU.

Dan putra keenam KH. Wahid Hasyim dan Hj. Sholihah adalah Muhammad Hasyim atau lebih dikenal Hasyim Wahid. Ia lahir pada 30 Oktober 1953. Gus Im (sapaan akrabnya) lebih banyak dibesarkan oleh tangan kasih sayang ibunya, Hj Sholihah.

Pendidikan ia mulai di SD Perwari, SMP III Manggarai, dan SMA Setiabudi. Selanjutnya ia kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, kemudian kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan teknik kimia, kemudian kuliah kembali di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Memang sangat disayangkan, taka ada kuliah yang diselesaikan dibeberapa tempat yang dimasuki. Jika melihat kemampuannya, sama sekali tidak ada masalah karena ia dikenal sangat cerdas. Apalagi, sang ibu sangat mementingkan pendidikan anak – anaknya, halaman 113.

Gus Dur dimata adik – adiknya

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bagi Aisyah Hamid Baidlowi adalah orang yang humoris dan menyenangkan, sekaligus kuat silaturahminya, sebagaimana bapak dan ibu. Kelebihan lain dari Gus Dur adalah kecerdasannya. Sejak kecil ia telah sering berdiskusi dan beradu argumentasi dengan orang – orang dewasa, hobi membacanya luar biasa.

Lain halnya, dengan Gus Solah, baginya Gus Dur adalah “buku” yang dapat dibaca semua orang. Ia dapat dibaca oleh siapa saja, kapan saja, dan dari sudut pandang apapun. Dalam tempo singkat “buku besar” ini sulit ditemukan bandingannya, halaman 132.

Bagi dr. Gus Umar Wahid, Gus Dur adalah tokoh yang unik. Kiprahnya dalam Forum Demokrasi, memperjuangkan tegaknya demokrasi pada era Orde Baru (Orba) ia berani mengambil resiko sehingga ada upaya dari Presiden Soeharto untuk meminggirkan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.

Selain itu, Gus Dur itu pemikiran – pemikirannya jauh kedepan, kemampuan komunikasi baik secara tulisan dan verbal sangat menarik, dan yang tak kalah penting kecerdasan dan daya ingatnya luar biasa.

Gus Dur dimata Hj. Lily Chodijah Wahid adalah ia memiliki jiwa memimpin, juga tidak suka konflik. Sangat menghargai perasaan orang lain, dan tidak tega terhadap orang lain. Gus Dur mempunyai kepandaian mempengaruhi orang karena keluasan wawasannya ia bisa menggiring orang kepada apa yang ia maui.

Bagi KH. Hasyim Wahid (Gus Im) Gus Dur mempunyai tempat tersendiri. Tidak hanya sebagai kakak, tetapi juga sebagai guru dan pembimbing. Ia selalu membuka jendela pikiran yang tidak kita sadari. Ia adalah seorang ahli stretegi dan taktis sekaligus.

Kini, tak terasa 16 tahun sudah Gus Dur telah wafat. Buku ini sangat strategis dibaca semua kalangan lapisan masyarakat, bisa menjadi obat penghilang dahaga kerinduan kepada sosok Gus Dur, tokoh pluralisme, bapak bangsa yang mengayomi kalangan minoritas, pembela demokrasi, budayawan, sekaligus Pahlawan Nasional.

IDENTITAS BUKU :

Judul : Gus Dur di Mata Adik-adiknya
Penulis : Ali Yahya
Penerbit : Pustaka Tebuireng, Jombang, Jawa Timur
Tahun Terbit : Februari, 2010
Tebal : 157 Halaman
PERESENSI : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.